Cari Blog Ini

Minggu, 09 Oktober 2011

Sastra


KEBENARAN DAN KEINDAHAN SASTRA

Apakah  sastra  itu?  Mengapa  sastra  itu  ada?  Dari  mana  munculnya kesusasastraan?  Untuk  apa  kita  mempelajari  sastra?  Untuk  apa  teori-teori sastra  dipelajari?  Tentunya  cukup  banyak  usaha  yang  dilakukan  sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atau pertanyaan  itu, dari berbagai pihak dan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tetapi, batasan manapun jua yang   pernah  diberikan  oleh  ilmuwan  ternyata  diserang,  ditentang,  dan disangsikan  atau  terbukti  tidak  kesampaian.karena  hanya  menekankan  satu atau beberapa aspek saja, atau ternyata  hanya berlaku untuk sastra tertentu. Atau  yang  sebaliknya  terjadi,  adakalanya  batasan  ternyata  terlalu  luas  dan longgar, sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra. Masalahnya: secara intuisi sedikit banyaknya tahu segala apakah yang hendak disebut sastra, tetapi begitu kita mencoba membatasinya segala itu luput dari tangkapan kita.
Memang seringkali secara umum dapat dilakukan bahwa definisi sebuah gejala  dapat  kita  dekati  dari  namanya.  Sudah  tentu  definisi  semacam  itu biasanya tidak sempurna, harus diperhalus atau diperketat kalau gejala tersebut mau dibicarakan secara ilmiah, meskipun begitu manfaat  tinjauan dari segi pemakaian bahasa sehari-hari sebagai titik tolak. Seringkali cukup baik. Dalam bahasa-bahasa  Barat,  gejala  yang  ingin  kita  perikan  dan  batasi  disebut literature  (Inggris),   literature  (Jerman),  litterature  (Perancis),  semuanya berasal dari bahasa Latin Litteratura. Kata  Litteratura sebetulnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani grammatika; literatura dan grammatical masing-masing  berdasarkan  kata  littera  dan  gramma  yang  berarti  “huruf” (tulisan,  letter). Menurut asalnya Litteratura dipakai untuk tata bahasa dan puisi; literature dan seterusnya, umumnya berarti dalam bahasa Barat Modern: segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tulis.
Sebagai bahan banding, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan,  mengajar,  memberi  petunjuk  atau  instruksi’.  Akhiran  –tra biasanya  menunjukkan  alat,  sarana.  Maka,  sastra  dapat  berarti  ‘alat  untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran’. Awalan su- berarti ‘baik, indah’ perlu dikenakan kepada karya-karya  sastra   untuk membedakannya dari bentuk pemakaian bahasa   lainnya. Kata susastra nampaknya tidak  terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno (Gonda 1952; Zoetmulder 1982), jadi susastra adalah ciptaan Jawa dan/atau Melayu. Pandangan-pandangan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa ciri khas sastra adalah  pemakaian bahasa yang indah. Persoalannya adalah tidak semua karya sastra (terutama terlihat  pada  seni-seni modern) menggunakan bahasa yang indah dan berbunga-bunga. Foucalt menyebutkan bahwa sastra modern lahir dan  bertumbuh di dalam kemapanan bahasa dan kungkungan pola-pola linguistik yang kaku. Oleh karena itu, sastra modern berlomba-lomba mentransgresikan dirinya pada suatu ruang abnormal.  Sastra modern justru menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam kesadaran masyarakat. Benarlah bahwa definisi mengenai ‘sastra’ dan upaya merumuskan ‘ciri khas sastra” sudah  banyak dilakukan orang, tetapi sampai sekarang agaknya belum memuaskan semua kalangan. Luxemburg, et al (1986:3-13)
Menyebutkan alasan mengapa  definisi-definisi mengenai sastra tidak pernah memuaskan. Alasan-alasan itu adalah: 1) orang ingin  mendefinisikan terlalu banyak sekaligus tanpa membedakan definisi deskriptif (yang menerangkan apakah  sastra  itu)  dari  definisi  evaluatif  (yang  menilai  suatu  teks  yang termasuk sastra atau tidak); 2) sering orang mencari sebuah definisi ontologi yang normatif mengenai sastra yakni  definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah  karya  sastra.  Definisi  semacam  ini  cenderung  mengabaikan  fakta bahwa karya tertentu bagi sebagian orang merupakan sastra, tetapi bagi orang yang lain bukan sastra; 3) orang cenderung mendefinisikan sastra menurut standar sastra Barat, dan  4) definisi yang cukup memuaskan hanya berkaitan dengan  jenis  tertentu  (misalnya  puisi)  tetapi  tidak  relevan  diterapkan  pada sastra pada umumnya.
Luxemburg, et al (1986) mengatakan bahwa bukanlah hal yang mudah dapat  dilakukan   dalam  memberi  definisi  sastra  secara  universal.  Sastra bukanlah sebuah benda yang kita  jumpai,  tetapi sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah  hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
  1. Sastra dihubungkan dengan teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai  untuk  suatu   tujuan  komunikatif  yang  praktis  dan  hanya berlangsung untuk sementara waktu saja.
  2. Dalam  sastra  bahannya  diolah  secara  istimewa.  Berlaku  bagi  puisi maupun prosa.
  3. Sebuah  karya  sastra  dapat  kita  baa  menurut  tahap-tahap  arti  yang berbeda-beda.
  4. Karya-karya  yang  bersifat  biografi,  atau  karya-karya  yang  menonjol karena bentuk dan gayanya juga seringkali digolongkan sastra. Lebih  lanjut,  Luxemburg  juga  mengemukakan  pandangannya  dalam menilai sastra itu sendiri, yakni
  5. Karena  sifat  rekaannya,  sastra  secara  langsung  tidak mengatakan   sesuatu  mengenai  kenyataan  dan  juga tidak menggugah kita untuk langsung bertindak; sastra memberikan kemungkinan      atau     keleluasan            untuk memperhatikan dunia-dunia lain, kenyataan-kenyataan yang hanya  hidup  dalam  angan-angan,  sistem-sistem nilai  yang  tidak  dikenal   atau  bahkan  yang  tidak dihargai.
  6. Sambil membaca karya sastra, kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh, dengan orang-orang lain.
  7. Bahasa sastra dan pengolahan bahannya lewat sastra dapat  membuka batin kita bagi pengalaman- pengalaman baru  atau  mengajak kita untuk mengatur pengalaman tersebut dengan suatu cara baru.
  8. Sastra  merupakan sebuah sarana yang sering dipergunakan untuk  mencetuskan  pendapat-pendapat yang  hidup  dalam  masyarakat  kita  atau  lingkungan kebudayaan kita. Hal ini tidak berarti bahwa pendapat- pendapat tersebut selalu bermutu.

B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TEORI SASTRA
Secara  umum,  yang  dimaksud  teori  adalah  suatu  sistem  ilmu  atau pengetahuan  sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala  yang  diamati.teori  berisi  konsep/uraian  tentang  hukum-hukum untuk suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya dan diverifikasi atau dibantah  kesahihannya  (diversifikasi)  pada   objek  atau  gejala-gejala  yang diamati tersebut.
Pertama-tama yang diperlukan adalah bahwa istilah yang tepat untuk menyebut teori  sastra, baik bahasa Indonesia atau Inggris, belum ditemukan. Akibatnya  definisi  mengenai  hakikat, fungsi  dan  teori sastra tidak mudah dirumuskan. Bahkan istilah-istilah yang digunakan utnuk menyebutkan konsep-konsep yang paling mendasar pun berbeda-beda. Antara teori dan ilmu sastra  belum  ada  pembatasan  yang  jelas.  Demikianlah  pergelutan  sastra menjadi ilmu menjadi hambatan-hambatan yang cukup banyak. Juga dalam hal konsep-konsep keilmuannya (Kuntara Wiryamartana, 1992)
Menurut  Wellek  dan  Warren  (1993),  sastra  adalah  suatu  kegiatan kreatif,  sederetan  karya  seni.  Sedangkan  teori  sastra  adalah  studi  prinsip, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Sedangkan studi terhadap karya sastra disebut kritik sastra dan sejarah sastra.  Ketiga bidang ilmu tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan secara  erat.  Teori  sastra  hanya  dapat  disusun  berdasarkan  studi  langsung terhadap karya sastra.  Kriteria, kategori, dan skema umum mengenai sastra tidak mungkin diciptakan tanpa berpijak pada karya sastra kongkret. Demikian pula, teori       sastra   bukan  hanya   sekadar alat bantu untuk mendukung pemahaman  dan  apresiasi  perorangan  terhadap  karya  sastra  (karena  ini bukanlah tujuan sebuah ilmu sistematis). Teori sastra justru diperlukan untuk mengembangkan ilmu sastra itu sendiri.
Luxemburg,  et.al  (1986)  menggunakan  istilah  ilmu  sastra  dengan pengertian yang  mirip dengan teori sastra Wellek dan Warren. Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya  di  dalam  masyarakat.  Tugas  ilmu  sastra  adalah   meneliti  dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-ciri khas kesastraan daan fungsi sastra dalam  masyarakat)  secara  umum  dan  sistematis.  Teori  sastra  merumuskan kaidah-kaidah atau konvensi-konvensi kesusastraan umum.
Menurut Lefevere (1997), sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang  memiliki  dimensi  personal  dan  sosial  sekaligus  serta pengetahuan kemanusiaan yang sejajar dengan bentuk hidup itu sendiri. Sastra penting dipelajari sebagai sarana berbagi pengalaman (sharing) dalam mencari dan   menemukan     kebenaran kemanusiaan.
Berdasarkan    pemahaman     ini, Lefevere menyatakan bahwa untuk mencari kedalaman  (insight) pengalaman kemanusiaan ini diperlukan tidak saja sekedar ‘persepsi’ tetapi lebih dari itu ‘observasi’ persepsi hanya berfungsi sebagai peta yang kita gunakan untuk mencari  kebenaran  dan  kenyataan  yang  sesungguhnya.  Dengan  melakukan observasi, kita ikut terlibat secara aktif dan perhatian kita dapat kita arahkan kepada aspek-aspek tertentu yang menarik perhatian kita.

C. HAKIKAT DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEORI SASTRA
Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and Critical  Tradition membandingkan model-model teori sastra sepanjang masa dan menyimpulkan bahwa  teori-teori itu sangat beeraneka ragam dan terkadang mengacaukan. Untuk dapat mempelajarinya  dalam kerangka yang lebih   sistematis,   Abrams   mengusulkan   perlunya   memperhatikan   ‘situasi keseluruhan  karya  sastra’  sebagai  patokan  untuk  membedakan  orientasi berbagai teori  pendekatan sastra. Ditinjau dari sudut situasi karya sastra itu, Abrams memberikan sebuah bagan  sederhana, namun cukup efektif sebagai berikut.
(REALITAS)
UNIVERSE

WORK (KARYA)

ARTIST          AUDIENCE (PENCIPTA)    (PEMBACA)

Dalam bagan tersebut, terlihat adanya empat komponen utama, yakni: realitas,  karya   sastra,   pencipta,  dan  pembaca.  Abrams  membuat  empat klasifikasi atau pendekatan utama  terhadap karya sastra berdasarkan empat aspek karya sastra tersebut. Keempat pendekatan itu  adalah : 1) pendekatan objektif  (yang  terutama  memperhatikan  aspek  karya  sastra  itu  sendiri;  2) pendekatan ekspresif (yang menitikberatkan aspek pengarang atau pencipta karya sastra); 3)  pendekatan mimetik (yang mengutamakan aspek semesta); dan pendekatan pragmatik (yakni mengutamakan aspek pembaca).
Gambaran singkat ini menunjukkan konsep pemikiran teori sastra dari sisi lain. Dari pencipta yang mula-mula dipandang ‘memiliki gaung jiwa yang agung’ (Wimmsatt & Beardsley, 1987:106) kemudian disingkirkan mengenai ketidakmampuan  bahasa   sastra  dalam  menyajikan   impian  dan  harapan, pengalaman  dan  kekecewaan  manusia.  Orientasi  lalu  bergerak  ke  arah pembaca  yang  diberi  kebebasan  penafsiran,  mula-mula  kebebasan  relatif sampai kepada kebebasan mutlak untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi teks itu. ‘Puncak’ kesadaran teori sastra adalah tidak ada sesuatu di luar teks; tidak ada makna transendetal di dalam teks sehingga  pembaca itulah yang bertugas mengadakannya dengan membongkar dan menyusun teks. Berikut ini beberapa uraian mengenai hakikat dan relevansi teori sastra didasarkan pandangan Lefevere (1977) dan Jauss.
  1. Dalam  sastra   harus menggunakan    prosedur dan konsep-konsep repertoir. Repertoir-repertoir sastra berfungsi mengidentifikasi gejala- gejala sastra, perubahan dan pergeseran core (inti, pusat), dan periphery (pinggiran). Juga bersifat polyssystem—fleksibel yang menunjukkan pusat tertentu yang dapat berubah-ubah.
  2. Sastra  tidak  dapat  digolongkan  sebagai  masalah  ilmiah  yang  dapat ditafsirkan  secara  tepat  atau  secara  tertutup;  sastra  adalah  deskripsi pengalaman dan pengetahuan kemanusiaan dalam cita rasa (taste) seni.
  3. Teori sastra dapat mengembangakan disiplinnya dengan repertoir sastra yang menunjukkan kontinuitas dan konteks genetik kultural.
  4. Makna  sebuah  karya  sastra  bersifat  hipotesis  bersama,  jadi  perlu menghindari subjektivitas.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah teori sastra   akan   menjadi  sangat  jelas   dan  transparan—mencari   “kebenaran” pengalaman-pengalaman dan  pengetahuan-pengetahuan sastra, jika pembaca dalam menetapkan penerimaannya dapat  memperhatikan ketentuan-ketentuan umum        (norma-norma  sastra)            dalam  lingkup genre  sastra.  Tolok   ukur “kebenaran”nya adalah pengalaman baru,  cara pengucapan baru, dan ide-ide estetik  baru.  Wilayah  teori  sastra  yang  demikianlah  diharapkan  mencapai relevansinya  sebagai  pemicu  proses  pengembangan  citarasa  sastra,  yang semakin cemerlang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar